Aliansi Masyarakat Peduli Desa Bongganan, Kecamatan Tinangkung, Kabupaten Banggai Kepulauan mendatangi kantor DPRD Bangkep, Senin (17/10/2022). Foto: Rifan Untuk Fajar Banggai
FAJAR BANGGAI, SALAKAN – Aliansi Masyarakat Peduli (AMALI) Desa Bongganan, Kecamatan Tinangkung, Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep), mendesak pemerintah daerah mengenai penanganan kawasan kumuh di wilayah Desa Bongganan.
Desakan atau tuntutan itu disampaikan langsung di hadapan Ketua DPRD Bangkep, Rusdin Sinaling, Ketua Komisi II DPRD Bangkep, Moh Hatta Mayuna, Sekretaris Komisi II DPRD Bangkep, Moh Ikbal Laiti serta sejumlah anggota Komisi II DPRD Bangkep, yakni Sahrudin Lalu dan Burhan Alelaga, Senin (17/10/2022).
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang juga dihadiri beberapa perwakilan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkup pemerintah daerah Bangkep, sejumlah warga yang tergabung dalam aliansi tersebut menegaskan, bahwa komitmen soal penanganan kawasan kumuh dan pembangunan rumah layak huni di Desa Bongganan sudah harus mendapat kejelasan pada tahun 2023 mendatang.
“Kalau bicara soal kawasan kumuh, saya kira banyak dampak lingkungan yang ditimbulkan terhadap masyarakat. Tapi kami butuh komitmen dari DPRD Bangkep. Bisa tidak. Jangan bicara soal prosedur. Kami tidak bicara persoalan teknis, kami minta di sini komitmen soal penanganan kawasan kumuh,” tegas Bandi, anggota AMALI Desa Bongganan.
Hal serupa juga secara tegas dilontarkan anggota AMALI. Kala itu, mereka mendesak agar DPRD Bangkep bisa menjamin penanganan kawasan kumuh di Desa Bongganan.
Tahun 2023 wajib direalisasi. Pasalnya, aspirasi tersebut telah disuarakan, baik melalui Musrembang hingga reses sejak tahun 2019 sampai sekarang.
Faktanya, usulan itu hingga kini belum juga menunjukkan adanya indikasi positif, terutama pada tahap realisasi. Alasannya, hal itu masih terkendala pada soal regulasi. Padahal DPRD Bangkep tiap tahunnya mengalokasikan anggaran perencanaan.
Persoalan regulasi sempat mewarnai perdebatan pada kesempatan itu. Mulai dari undang-undang hingga peraturan bupati disebutkan untuk membuka pintu masuk penanganan kawasan kumuh dari bibir pantai hingga ke kawasan laut.
Bahkan, Ketua Komisi II DPRD Bangkep, Moh. Hatta Mayuna tak segan-segan menuding dinas terkait kerap menjadikan masalah regulasi sebagai alasan untuk mengalihfungsikan anggaran dari penanganan kawasan kumuh hingga ke perjalanan dinas.
Padahal, menurutnya, dinas terkait di awal-awal penganggaran sudah menyatakan kesanggupanny.
“Karena begini, saat kita tanya soal bisa tidaknya dilakukan penanganan kawasan kumuh, dinas sering menjawab bisa. Begitu anggaran masuk, mereka beralasan dengan regulasi. Akhirnya anggaran itu mereka ambil untuk perjalanan,” ujar Hatta sapaan akrab Moh Hatta Mayuna.
Namun demikian, perwakilan dari Dinas Perumahan Bangkep pun menjelaskan, realisasi penanganan kawasan kumuh untuk sejauh ini pada regulasi. Aturannya, kawasan pemukiman kumuh dengan luas di atas 10 hektar, menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi.
Dia mengaku, pihaknya sejauh ini sudah tiga kali berkonsultasi ke pemerintah provinsi terkait hal itu. Dan pada kali ketiga, pihaknya kemudian mempertanyakan kepastian dinas perumahan provinsi menangani kaawasan kumuh pemukiman kawasan Desa Bongganan.
“Makanya kita tanya, kalau provinsi tidak bisa tangani, kasih kesempatan kepada daerah untuk masuk mengintervensi menggunakan APBD Bangkep. Itu permintaan kami dari dinas perumahan. Provinsi (pemerintah provinsi) izinkan dengan catatan perblok. Jadi dalam gambarnya, sudah diatur perblok,” kata dia.
Dia pun menerangkan, izin untuk mendirikan bangunan di atas tanah, diatur oleh Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), sedangkan di atas laut dari nol sampai 30 mil diatur oleh Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Dinas Kelautan. Sehingga perlu mendapat izin dari dinas kelautan.
Karena itu, jika pendirian pemukiman di atas laut tidak diatur dalam RTRW, maka paling tidak desa bisa menyiapkan peraturan desa yang paling tidak menjadi dasar bahwa beberapa meter ke laut dari bibir pantai adalah batas ruang pemukiman desa.
Menyahuti penjelasan itu, Anggota Komisi II DPRD Bangkep, Syahrudin Lalu menerangkan, pembangunan kawasan kumuh perkotaan tertuang dalam Perda RTRW bisa dijadikan cantolan. Pada kenyataannya, posisi Desa Bongganan masuk dalam kawasan perkotaan. Sehingga, menurut dia, pemerintah desa tidak lagi begitu penting mengeluarkan perdes.
“Kita di sini, saya lihat kaku dan penuh kehati-hatian. Di tahun 2014, kita sudah petakan kawasan kumuh, bahkan tertuang di RTRW yang terbit 2016. Sampai hari ini belum berubah. Kemarin ada revisi RTRW, tapi itu tidak lepas. Makanya yang saya maksud di sini, tidak perlu ada RTRW desa,” ujarnya.
Karena itu, dirinya menghendaki agar persoalan tersebut dibicarakan dan disepakati bersama. Sehingga Ketika di kemudian hari ada indikasi temuan atau pelanggaran, maka itu bisa menjadi tanggung jawab bersama.
Hal serupa juga dikemukakan Sekretaris Komisi II DPRD Bangkep, Moh. Ikbal Laiti. Hasil konsultasinya dengan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Bangkep, bahwa pemanfaatan laut menjadi kawasan pemukiman, boleh dimasukkan dalam Perda RTRW.
“Makannya, kalau perda RTRW kuat, maka tidak ada alasan tahun 2023 di bangun,” tegasnya.
Ada dua opsi yang menurutnya perlu dipertimbangkan jika pembangunan pemukiman masyarakat Suku Bajo Desa Bongganan serius direalisikan.
Pertama, kawasan masyarakat adat, dan kedua kawasan wisata kota.
“Maka saya cenderung memilih wisata kota, supaya dia berdampak pada pendapatan terhadap daerah. Sehingga kita tidak terkesan memanfaatkan uang daerah tapi tidak punya timbal balik,” bebernya.
Tawaran Ikbal, sapaan Moh. Ikbal Laiti, kemudian ditanggapi positif oleh Ketua DPRD Bangkep, Rusdin Sinaling.
Menurutnya, selain penganganan kawasan pemukiman kota, Desa Bongganan bisa dijadikan salah satu objek wisata andalan lbukota kedepannya.
“Nah sekarang kan pembahasan anggaran sudah jalan. Hari ini seharusya kita bicarakan dengan TAPD Bangkep. Kebijakan perubahan anggaran perubahan 2023 kan sudah diketahui fokusnya ke pendidikan, kesehatan, PUPR dan perumahan. Nah ini kan peluangnya besar sekali. Sehingga pembangunan kota kedepannya sangat bagus untuk dilakukan,” katanya.
Karena itu, ia mengajak seluruh pihak terkait untuk membawa persoalan ke bupati, untuk kemudian menjelaskan bagaimana teknis oleh OPD. Sebab komitmennya sudah dituntaskan dalam pertemuan itu.
Namun hal itu masih tetap ditanggapi miring oleh Hatta Mayuna. Menurut dia, selaku perwakilan rakyat, dirinya merasa dirugikan. Sebaga selama tiga tahun beruntun pihaknya telah menggelontorkan anggaran untuk masyarakat, terutama yang kurang mampu.
Namun demikian, kenyataannya tak satu pun yang dibangun, melainkan anggaran tersebut hanya dimanfaatkan untuk membiayai dokumen-dokumen tebal yang sama sekali belum tampak sebagai bahan rujukan pembangunan.
Meski begitu, Hatta menandaskan, niatan dan loyalitas dirinya untuk membangun ibukota tidak perlu diragukan. Karena itu, ia meminta agar pertemuan dilakukan kembali dengan menghadirkan para kepala OPD.
Sementara itu, anggota Komisi II DPRD Bangkep, Burhan Alelaga ngotot agar kepala dinas terkait dihadirkan dalam pertemuan ini.
Sebab, menurutnya, kepala dinas adalah penentu kebijakan terakhir, yang bisa memastikan hal tersebut bisa dilaksanakan.
“Itulah kenapa saya minta kepala dinas dihadirkan. Saya hanya ingin memastikan kepala dinas bisa melaksanakan program itu ketika dianggarkan. Supaya kita dengar apakah dia sanggup lakukan atau tidak. Kalau tidak bisa, apa alasannya, kalau bisa, minta dia bikin nota kesepakatan,” tandas Burhan.
Bahkan, Burhan mengatakan, jika memang tidak lagi ada kendala untuk menindaklanjuti pembangunan ibukota, maka Ketua DPRD Bangkep sudah seharusnya bisa menentapkan dan menjamin ketersediaan serta besaran anggaran saat ini.
Meski begitu, di akhir pertemuan semua bersepakat akan melaksanakan rapat kembali di esok hari dengan menghadirkan beberapa kepala OPD terkait. Mulai dari Dinas PUPR, Dinas Perikanan, Dinas Perumahan dan Dinas Lingkungah Hidup. (*)









