FAJAR BANGGAI- Di hadapan sejumlah awak media Lurah Bahontula, Budi Tangko beberkan kronologis atas tuduhan yang menyebut dirinya adalah mafia tanah. Budi Tangko saat dibrondong sejumlah pertanyaan awak media mengatakan, atas ketidak nyamanan soal pemberitaan di salah satu media online di Morowali Utara (Morut) pada pekan lalu yang memojokan dirinya.
“Saya tidak terima senang pak disebut mafia tanah persoalannya pembebasan lahan di area pertambangan PT. Afit Lintas Jaya (ALJ) di kelurahan Bahontula, Kecamatan Petasia itu, saya tidak pernah menjual tanah seluas 100 hektar sebagaimana yang ditudingkan itu,” tegasnya.
“Saya hanya mengurus sebatas lahan perkebunan masyarakat seluas 29 hektar yang kami terbitkan SKPT, karena memang mereka kuasai lahan itu sejak tahun 1970. Selanjutnya saat pencairan pembebasan lahan, mereka sendiri lah yang langsung bertemu pihak perusahaan melalui Bank BRI dan saya tidak terlibat dalam hal itu,” jelasnya.
Lurah menjelaskan, lahan perkebunan masyarakat yang dibebaskan perusahaan masuk dalam kategori kawasan area penggunaan lain (APL).
“Jadi tidak benar jika lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung sebagaimana yang beredar diluar sana, yang menyebut saya jual. Yang jelas saya tak terima senang disebut mafia tanah, ini pencemaran nama baik saya dan keluarga, dan saya tidak akan tinggal diam. Saya sangat sayangkan pak atas pernyataan yang dibuat oleh Melkias mesepy, yang menuding saya melalui pintu belakang Bank BRI saat pencairan uang dan saya dituduh mengambil uang padahal itu uang menjadi haknya,” tandas Budi saat jumpa pers.
Lebih jauh dia menjelaskan, bahwa sebelum pembebasan lahan 29 hektar itu, sudah terjadi pembebasan lahan yang masih di area APL mulai tahap satu sampai tahap empat yang dimotori oleh Joni Mursalim alias Ampu Luli.
“Ampu Luli ini yang katanya diberi kuasa oleh pemilik lahan untuk mengurus proses pembebasan tahap satu sampai tahap empat hingga ke tahap pencairan, dan saya hanya sebatas membuat legalitasnya saja,” ujarnya.
Sementara harga lahan tersebut dari perusuhaan senilai Rp 50 ribu per meter, karena lokasi itu berada di pusat aktivitas pertambangan.
Namun pada saat pencairan, Ampu Luli memotong Rp 20 ribu dari Rp 50 ribu permeter, kemudian Rp 30 ribunya diserahkan langsung ke pemilik lahan, bahkan itu pun disunat lagi sebesar 20 persen perorang.
Adapun proses pencairan dari tahap satu ke tahap empat semuanya masuk ke rekening pribadi Joni Mursalim kemudian ia serahkan ke pemilik lahan. “Khusus perkebunan masyarakat seluas 29 hektar itu hanya Rp 25 ribu per meter nilai pembebasannya yang ditetapkan perusahaan, karena letak lokasinya tidak berada dipusat aktivitas perkembangan,” ucapnya.
“Jadi saya tegaskan kembali, bahwa saya hanya sebatas membuat legalitas sesuai permohonan pemilik lahan, jadi yang sebenarnya mafia tanah disini adalah mereka yang sudah membodoh-bodohi masyarakat saya,” tegasnya.
Ia menambahkan, atas tudingan-tudingan itu, saya juga tidak akan tinggal diam, dan saya akan segera menempuh jalur hukum, karena nama baik saya sudah dicemarkan. (*)








